2025-07-01 | admin3

“Mangu” dari Fourtwnty: Lagu Melarikan Diri Menuju Dingin dan Damai di Tanah Tinggi Minahasa

Di antara jejeran lagu indie Indonesia yang penuh makna dan kontemplasi, “Mangu” dari Fourtwnty berdiri sebagai salah satu karya yang tak sekadar dinikmati lewat telinga, tetapi juga melalui hati dan bayangan. Dirilis sebagai bagian dari perjalanan musikal mereka yang menyentuh sisi paling personal dari pendengarnya, lagu ini tidak hanya membicarakan tempat, tapi juga perasaan tentang pelarian, perenungan, dan keinginan untuk hening di tengah keramaian dunia.

Mangu” merujuk pada Desa Mangguhan yang berada di daerah Minahasa, Sulawesi Utara—tepatnya di kawasan pegunungan Tomohon yang sejuk dan jauh dari hiruk-pikuk urban. Lagu ini seperti surat cinta untuk tempat yang menjadi pelarian emosional dan spiritual, sebuah ruang untuk berhenti, menghela napas panjang, dan membiarkan luka-luka batin menguap bersama kabut pegunungan. Dari segi aransemen, Fourtwnty tetap setia pada gaya akustik minimalis yang sarat atmosfer, dengan gesekan gitar yang hangat, dentingan halus, dan vokal Ari Lesmana yang berbisik seperti obrolan pribadi dengan diri sendiri.

Lirik “Mangu” memuat kata-kata sederhana tapi penuh muatan emosional. “Saat semua menjadi bising, aku mencari sunyi,” begitu kira-kira esensinya. Lagu ini seperti perjalanan sunyi dari keramaian kota menuju alam yang menawarkan kejujuran. Tidak ada kemewahan, tidak ada keramaian, hanya rindu akan keheningan yang menyembuhkan. Di balik metafora alam, Fourtwnty sedang mengajak pendengarnya untuk melihat ke dalam tentang bagaimana kita semua sesekali butuh menepi, menjauh dari semuanya, dan menyembuhkan diri dengan diam.

Atmosfer lagu ini mengingatkan pada suasana senja di desa yang berkabut, dengan pemandangan gunung Lokon di kejauhan dan aroma tanah basah setelah hujan. Fourtwnty tidak sekadar menyanyikan tempat bernama “Mangu,” mereka menghidupkannya dalam benak pendengar. Setiap baitnya adalah lanskap yang dibangun dengan kata dan nada, tempat di mana perasaan rindu, cemas, dan tenang berkumpul dalam satu ruang yang bernama lagu.

“Mangu” juga terasa sebagai bentuk kritik halus terhadap kehidupan urban yang cepat dan bising. Dalam kesederhanaannya, Fourtwnty menawarkan alternatif gaya hidup: lebih pelan, lebih sadar, dan lebih dekat dengan alam. Mereka tak menggembar-gemborkan pelarian sebagai solusi permanen, tapi sebagai cara untuk menata ulang isi kepala. Lagu ini memberi ruang untuk diam tanpa rasa bersalah, untuk menangis tanpa disalahkan, dan untuk berhenti sejenak tanpa dianggap lemah.

Yang membuat lagu ini semakin kuat adalah konteks sosial para pendengarnya. Banyak anak muda Indonesia yang merasa terjebak dalam siklus sibuk tanpa makna, dan “Mangu” datang sebagai pelipur lara sekaligus pengingat bahwa ada dunia lain di luar layar dan deadline. Dengan durasi lagu yang slot jepang tidak terlalu panjang, Fourtwnty justru berhasil menyampaikan kedalaman rasa dalam waktu yang singkat—seperti sekilas angin pegunungan yang menerpa wajah lalu pergi, tapi meninggalkan kesan yang tak cepat hilang.

Fourtwnty memang dikenal sebagai band yang sering membawa unsur spiritualitas dalam liriknya, tapi bukan yang religius, melainkan yang membumi. “Mangu” adalah contoh sempurna dari itu—lagu yang tidak menggurui, tidak memaksa pencerahan, tapi menawarkan tempat untuk mengistirahatkan pikiran. Lagu ini seperti rumah kecil di tengah kabut yang selalu terbuka pintunya untuk siapa saja yang lelah dengan dunia luar.

Sebagai bagian dari katalog musik Fourtwnty, “Mangu” menunjukkan bahwa kekuatan musik tidak selalu ada pada dentuman keras atau produksi mewah. Kadang, kekuatan itu hadir dalam keheningan, dalam ruang kosong antara bait, dan dalam suara pelan yang jujur. Dan dari sebuah tempat kecil bernama Mangu di Minahasa, Fourtwnty telah mengirimkan pesan yang begitu luas: bahwa pulang tidak selalu soal rumah, tapi juga soal hati yang akhirnya tenang.

BACA JUGA DISINI: Makna dari Lagu ‘Mantan Terindah’ Ciptaan Raisa

Share: Facebook Twitter Linkedin